satu tahun persis,ditempat ini. Tempat yang dipenuhi dengan ilalang dan separuhnya berupa padang rumput yang berbatas hutan kecil. Sebuah janji dan harapan terucap dari bibir seorang anak Adam. Dengan senja sebagai saksinya.
Dan taukah Kau mengapa aku datang ketempat
ini hari ini?
Karena
aku sedang menunggu de javu datang untuk
mempertemukan aku dengannya lagi. Dengan Jabrik. Mungkin tak lucu jika aku
memanggilnya dengan sebutan “Jabrik”. Selain memang karena bukan nama dari
kedua ornag tuanya,nama Jabrik juga jelas kurang begitu enak di dengar.
Penyesalan yang sedari tadi bergelayut disampingku,kini
memintaku untuk bangkit dari tempatku duduk dan menyusuri kembali sebuah rasa
yang hingga kini hanya sampai sebatas rongga dadaku saja,tak pernah bisa
keluar. Kini aku bisa merasakan jika kekalahan dan kesepian lebih menyayangiku
daripada seribu kebahagiaan.
Rekaan-rekaan masa lalu yang telah
terekam di ingatanku kini kembali terputar.
****
“ senja akan jadi saksinya. Saksi janjiku
jika aku akan menjadi yang terbaik untukmu!!” matanya berbinar-binar saat
kata-kata itu terlontar dari mulutnya. Bahkan dia mnyebut dirinya sebagai
“aku”,tak seperti biasanya. Ya,hari itu memang tak seprti biasanya.
“ senja???” aku bertanya ragu.
“ ya,senja. Senja akan jadi saksi abadi,jika
suatu hari nanti aku lupa,senja akan menghukumku,Luna..”
Aku masih
diam. Hening.
Tak
menyangka kalau Jabrik yang selama ini ku kenal sebagai seorang cowok
urakan,tengil dan tak pernah serius itu bisa mengatakan hal yang bahkan bisa
membuat jantungku memperlambat detakannya agar bisa mendengar setiap ucapannya
dengan jelas.
“Luna, maukah kau menjadi Bulan untuk
Dunia ini?”
Bulan??
Dia selama ini selalu memanggilku dengan sebutan “bulan”. Mungkin karena namaku
dalam bahasa Romawi yang berarti bulan.
Dan
dunia?? Itu pasti kiasan untuk dia.
“ ken,,,,kenapa aku?” bibirku terasa
bergetar. Aku bahkan tak tau perasaan apa ini. Yang aku tahu kini jantungku
berdetak semakin kencang dan otakku tak bisa menangkap semua ucapan Jabrik
dengan jelas.
“ karena Cuma kamulah Bulan yang
selalu ada untuk malam dan untuk bintang..”
Tuhan…kini
aku benar-benar bergetar. Tak hanya bibirku,tapi juga hatiku.
Sepertinya
Jabrik menangkap keraguan dari mataku.
“ kau ragu, Luna? Baiklah…besok aku
akan membawakan senja dengan segala
keindahannya untukmu..” katanya sembari tersenyum penuh arti.
“ apa? Kau bahkan tak pernah
mendukungku untuk mendapat apa yang ku mau kan?”
“tentang bermusik kesukaanmu itu? Aku
memang melarangmu. Dan itu karena aku…aku…” Jabrik berfikir. Sepertinya ia tak
bisa melanjutkan kata-katanya.
“ harusnya kau mengerti apa yang aku
mau. Menjadi musisi,itulah impianku. Impian yang akan selau ku kejar. Apapun
akan ku lakukan. Dan kau tahu?? Larangan darimu dan mamaku membuatku ragu,apa masih
ada orang yang peduli denganku selain Kevin?”
Jabrik
kaget. Ia mengalihkan pandangannya dariku.
“ selama ini kau melarangku. Kenapa?
Itu karena kau tak peduli dan tak mengerti aku kan?”
Ia masih
diam. Itu tandanya dia merenungi sikapnya.
“ datanglah kesini besok. Sebelum senja”
Aku
mengerutkan keningku. Ia tersenyum. Dan itu adalah senyum yang akan selalu ku
ingat dalam hidupku.
Aku
meninggalakannya dengan penuh rasa kecewa.
^_^
“ gimana? Loe suka gak? “ Kevin menunjukkan
salah satu piano terbesar di pameran itu.
“ waahh….piano klasik?? Gue suka banget Vin..
sayang Cuma pameran. Not for sale ya..”
Kataku
sambil memanyunkan bibir.
“ iya. Eehm…masih pengen muter-muter liat
yang lain?” Tanya cowok berbodi atletis yang menarik banyak perhatian kaum hawa
di sekolahku itu.
Aku
celingukan ke kanan-kiri. Mencari bagian ruang pameran yang belum ku jelajahi.
Aku menggeleng,setelah sadar bahwa aku telah melihat semua piano-piano tua yang
ada di pameran.
“ oke…kita jalan kemana lagi nih,Tuan
Putri?” Kevin memang selalu memperlakukanku dengan sangat baik. Ia tau
bagaimana membuat seorang cewek merasa nyaman di dekatnya. Tak seperti Jabrik
yang selalu berbuat hal-hal konyol saat bersamaku. Bahkan ia pernah nekat untuk
mengunci pintu rumahku agar aku tak bisa pergi les piano. Rumah Jabrik berjarak 3 rumah dariku.Mamaku
membiarkannya saja,karena mama memang tak begitu mendukungku mengikuti kegiatan
non akademik. Alasannya,itu akan mengganggu pelajaranku. Lain lagi dengan jabrik,ia
memang tak setuju jika aku terjun di dunia music,bukan karena pelajaran,tapi
sesuatu yang lain. Entah apa itu,yang jelas pasti sesuatu yang konyol pula.
Aku
melihat jam tanganku. Masih pukul empat sore. Sedangkan senja?bukankah itu
sekitar jam lima.
“ Loe
pengen beli apa,Lun?” Tanya Kevin.
Aku
berfikir sejenak,” tak ada” jawabku.
Ia
menuntunku ke toko accessories. “ gue tau barang bagus kemaren. Masih ada gak
ya?” matanya sibuk mencari
“barang bagus” yang dimaksudnya.
“ loe
tunggu sini bentar” Kevin menyuruhku untuk tetap disini.
“ ini…”
ia menyodorkan miniature Tiinkerbell yang biasanya di pajang di atas piano
setelah beberapa saat mencari.
Aku
menerimanya.
“Kevin?
Loe dapet juga ya? Aduuuhh…gue udah nyari kemana-mana. Gak taunya disini ada
ya…” seruku. Sepertinya dia senang melihat reaksiku. Ia hanya mengangguk.
“loe suka
Lun?”
“bangeeett..”
kataku sambil menatap kagum padanya dan miniature Tiinkerbell yang memang sudah
kucari ke berbagai toko.
Tiba-tiba
Kevin memegang pundakku. Matanya menatapku lekat dan penuh arti.
“
Na….sebenernya…gue udah lama mau bilang ini” aku tersentak mendengar
perkataanya. Jantungku berdegub kencang. Kualihkan pandangan ke arah lain.
“lihat
gue Na…” kali ini Kevin memalingkan wajahku dengan tangan lembutnya. Dan
membingkai wajahku dengan kedua telapak tangannya.
Aku
menuruti perkataannya,dan memandang mata indahnya. Katiku bergetar hebat.
Tapi rasanya ada sesuatu yang kulupa. Sesuatu
yang janggal dan sepertinya penting….
“gue…gue…”
Kevin menghela nafas panjang.
Apa? Sesuatu itu…..ada yang kulupa..ya! jabrik!!
Janji itu? Benarkah?
“sebelumnya
sorry,tapi…” kata-kata Kevin tak begitu ku hiraukan. Bahkan aku sibuk
memikirkan jabrik.
Haruskah aku datang setelah memakinya?
“ gue
sayang ama loe..”
Ya…!!harus!! harus datang,dan itu sekarang!
“loe mau
gak jadi…”
“ Vin,gue
pergi dulu ya! Penting. Sorry….nanti gue telfon!”
aku
berlari mencari taksi. Tanpa ku perdulikan lagi Kevin yang masih melongo
melihatku pergi.
“pak…cepetan
dikit ya” perintahku pada pengemudi taksi itu.kulihat matahari belum begitu
tenggelam. Berkali-kali kulihat jam tangan.
Setelah
sampai,aku membayar ongkos taksi dan segera berlari ketempat yang Jabrik ingin.
Tapi sepi…hanya siluet tubuhku yang disinari matahari merah saja yang tampak.
Kulihat sekeliling dan bocah plontos yang selalu setia tertawa disampingku itu
tidak ada. Kulihat juga diatas pohon yang biasanya ia naiki untuk sekedar
tidur,nihil.
Tuutt…tuuttt….
Handphoneku
bordering. Dilayar ponsel muncul nama “mamaku”
“ hallo
Ma..ada apa?”
“ Luna
bisa pulang sekarang? Penting” suara Mama di seberang terdengar sendu.
Diselingi isakan.
“ kenapa
Ma?” aku mulai khawatir. Takut-takut kalau terjadi sesuatu dengan mamaku.
“ Bintang
Na…Bintang” kini bukan lagi isakan,tapi juga tangis Mama yang terdengar.
“ Jabrik
kenapa?”
“ Luna
pulang sekarang ya….”
Dan
Klik,handphone dimatikan.
Saat
itu,aku tak tau apa yang terjadi. Tapi sixth-sense-ku mengatakan sesuatu yang
buruk telah melanda Jabrik. Dan itu sangat buruk.
Aku
berlari. Tak sempat lagi memanggil taksi. Hanya berlari. Rumah Jabrik tak jauh
dari situ. Dan entah kenapa aku ingin menangis.
Aku bukannya pulang,tapi malah menuju kerumah Jabrik.
Kulihat
orang-orang keluar dari pagar rumahnya dengan pakaian serba hitam. Kupercepat
lariku. Dan kepalaku seperti dijatuhi benda yang amat teramat berat hingga kakiku
lunglai saat aku melihat karangan bunga duka cita yang bertuliskan nama “
Bintang Satya Pramana”.
Aku
menggeleng tak percaya. Ibu Jabrik menyambutku di pintu rumah.
“ apa ini
Bu?” tanyaku meminta penjelasan. Seolah meminta keyakinan bahwa tulisan itu tak
benar.
“ Nak
Luna…Bintang kecelakaan tadi pagi. Dia meninggal seketika Nak..” tangis ibu
Jabrik meledak. Aku memeluknya. Rasanya ada gendang raksasa di dalam dadaku
yang berdebum keras dan sangat menyakitkan.
“tadi
pagi?? Tapi…bukankah tadi pagi jabrik masih…bersamaku”
‘iya,sepulang
dari bukit,dia pulang dan tertabrak bus..” jelas Ibu Jabrik diselingi isakan.
Kurasakan
mulai ada genangan air dipelupuk mataku. Rasanya perih sekali.Ibu Jabrik
berusaha menghapus air mataku dengan kedua tangannya.
“ ikut ibu
yuk..” dia menggandengku menuju suatu tempat,kamar Jabrik.
“ sebelum
Jabrik meninggal,dia sempat cerita kalau nak Luna marah gara-gara dia gak
setuju sama hobbi’nya nak Luna yang suka main piano itu…”
Ruangan
kamar Jabrik. Aku terpejam sesaat. Seperti ada bau khas Jabrik disana.
Ya,bau
itu…bau parfum yang senantiasa melekat dibadan Jabrik. Aku menyukai bau itu…
“ ibu
sudah menasihatinya supaya dia lebih mengerti nak Luna. Apalagi kalian sudah
berteman sejak kecil..” ibu Jabrik tersenyum kecut. Aku melihat rasa kehilangan
yang teramat di matanya yang sembab itu.
“berkali-kali
dia bercerita,dan berkali-kali juga ibu berusaha meyakinkan dia kalau apa yang
nak Luna ingin itu yang tebaik bagi nak Luna..” bahkan aku baru sadar selama
ini Jabrik begitu dekat dengan ibunya. Yang ku tau,dia hanya patuh dan selalu
jujur pada orang tua satu-satunya itu. Sedangkan ayahnya sudah meninggal karena
kanker otak saat Jabrik masih kecil.
“akhirnya
dia kemarin sadar. Dan dia berjanji akan mendukung apa yang nak Luna mau. Dia juga
membelikanmu sesuatu. Saat dia mengajak nak Luna ke bukit padang rumput
itu..sebenarnya dia hanya ingin menunjukkan sesuatu..”
Ibu
Jabrik melangkah menuju lemari di sudut kamar itu. Lalu membukanya.
Ada
sebuah gaun berwarna violet dipadu renda-renda yang sanagt menawan tergantung
disana. Gaun itu mungkin sebatas lututku. Aku bisa menerka hanya dengan
melihatnya saja.
“ ini nak
Luna..coba lihat. Gaun untuk konser piano nak Luna. Bintang yang
membelikannya..” aku melangkah mendekatinya. Sungguh indah. Dan lagi si Jabrik
itu msaih ingat warna kesukaanku,violet. Aku menatap gaun itu nanar. Rasa
bersalah bergelayut dengan riangnya disampingku.
“dan nak
Luna tau kenapa selama ini Bintang tidak suka dengan kegemaran nak Luna itu?”
aku menggeleng lemah.
“ dia bilang,setiap
kali nak Luna memainkan piano,setiap kali itu juga Bintang jatuh cinta pada nak
Luna..perasaannya semakin bertambah jika dia melihat nak Luna bermain. Dia
hanya takut kalau semua lelaki juga akan terpikat pada nak Luna jika nak Luna
terus memainkan piano. Apalagi saat pementasan yang tentunnya dilihat ratusan
orang..” aku tersentak.
Bodoh!!!
Laki-laki yang bodoh! Karena alas an itukah dia melarangku untuk memainkan
jari-jariku diatas tuts-tuts piano yang bahkan telah menjadi separuh dari
hidupku?? Satu alasan yang tak begitu bisa ku terima.
Aku
tertawa kecut mendengar penjelasan ibu Jabrik. Ku dekap mullutku dengan telapak
tanganku. Kini tangiskupun meledak. Aku sudah tak mampu membendungnya. Ibu
jabrik mengelus-elus pundakku.
“tapi…Tuhan
mungkin begitu menginginkan Bintang untuk disampingnya. Kecelakaan itu membuatnya
tak sempat mengatakan semuanya” terang ibu Jabrik.
Aku
menggeleng lemah tak percaya. Sungguh,jika aku bisa memutar kembali waktu,tak
akan aku luangkan waktuku bersama Kevin dan memilih pulang bersama Jabrik.
Tubuhku
lunglai di lantai kamar Jabrik. Memandang nanar seluruh ruangan. Hanya kenangannya,yang tersisa kini.
****
Aku
berdiri mematung mamandang langit tanpa batas.
Menunggu
senja,itu yang kulakukan. Melihat apa yang ingin Jabrik tunjukan padaku,menanti
apa yang telah Jabrik janjikan untukku.
“ aku akan membawakanmu senja..” katanya dulu.
Oh ya??
Lalu kini siapa yang akan membawakan senja untukku jika kau tiada,Jabrik??
Dari
ujung barat,kulihat sebuah warna merah yang merona.
“
segenggam senja..” aku ingat Jabrik pernah mengatakannya. Aku sempat
meragukannya. Bagaimana mungkin ia bisa menggenggam senja?
Aku
arahkan tanganku ke matahari kecil merah itu. Membuka telapak tangan lalu
seolah menggenggam bulatan yang trelihat sebatas genggamanku dari sudut dimana
aku berdiri. Sedikit terkejut aku melihatnya.
“ ini
yang kau maksud,Jabrik?” kataku lirih,seolah kini ruh Jabrik berada di
sampingku.
Aku
tersenyum kecut. Pintar juga dia,ada pula ide yang seperti ini untuk mengambil
hati gadisnya,mengambil hatiku. Jabrik tetap saja konyol,jayus..
Senja
kian bergulir,merangkak melewati waktu bersama semua penyesalanku.
Angin
berdesir lembut,mempermainkan rambutku. Ku tatap sendu semua sudut-sudut
kenangan di tempat itu. Kini,tak ada lagi Jabrik.
Aku
mendesah pelan,ingin melepaskan beban yang menumpuk dihatiku,menghempaskan
semua pedih yang masih terasa. Suasana hening di balut merahnya senja. Tak ada
lagi tawa Jabrik.
“ tak ada
yang perlu disesali..” kata Jabrik suatu waktu saat aku menangis di lorong
sekolah karena aku telah membiarkan sahabatku pergi meninggalkanku karena
kekasihnya yang juga mengunggkapkan cinta padaku.
“ya…tak
ada yang perlu disesali” aku membenarkan kata-katanya saat ini.
“ pergi
dan berlalulah…seperti angin..” kataku merelakannya.
“ namun
ketahuilah…bahwa aku disini selalu mencintaimu. Bawalah cintaku ini ke
surga,Bintangku. Dan aku akan menjadi Bulan untukmu…” aku tersenyum. Menyadari
bahwa kini mungkin ia telah mendapatkna suatu kehidupan yang lebih baik.
Aku
melewati hari-hariku dengannya,dengan senyum. Saat
sedih,gembira,berduka,semuanya dengan senyum saat bersamanya. Tapi kini, aku
tak kan bisa lagi bersamanya. Takdir telah memisahkan kami dengan akhir yang
sungguh tak adil. Esok,aku tak tahu apakah masih bisa tersenyum menghadapi
semuanya tanpa dia,sendiri.
Namun
setidaknya,akan ku iringi kepergiannya dengan senyum.
__the end__
Tidak ada komentar:
Posting Komentar