Kamis, 10 November 2011

cerpen : my little star



satu tahun persis,ditempat ini. Tempat yang dipenuhi dengan ilalang dan separuhnya berupa padang rumput yang berbatas hutan kecil. Sebuah janji dan harapan terucap dari bibir seorang anak Adam. Dengan senja sebagai saksinya.
Dan taukah Kau mengapa aku datang ketempat ini hari ini?
Karena aku sedang menunggu  de javu datang untuk mempertemukan aku dengannya lagi. Dengan Jabrik. Mungkin tak lucu jika aku memanggilnya dengan sebutan “Jabrik”. Selain memang karena bukan nama dari kedua ornag tuanya,nama Jabrik juga jelas kurang begitu enak di dengar.
Penyesalan  yang sedari tadi bergelayut disampingku,kini memintaku untuk bangkit dari tempatku duduk dan menyusuri kembali sebuah rasa yang hingga kini hanya sampai sebatas rongga dadaku saja,tak pernah bisa keluar. Kini aku bisa merasakan jika kekalahan dan kesepian lebih menyayangiku daripada seribu kebahagiaan.
          Rekaan-rekaan masa lalu yang telah terekam di ingatanku kini kembali terputar.

****


“ senja akan jadi saksinya. Saksi janjiku jika aku akan menjadi yang terbaik untukmu!!” matanya berbinar-binar saat kata-kata itu terlontar dari mulutnya. Bahkan dia mnyebut dirinya sebagai “aku”,tak seperti biasanya. Ya,hari itu memang tak seprti biasanya.
“ senja???” aku bertanya ragu.
“ ya,senja. Senja akan jadi saksi abadi,jika suatu hari nanti aku lupa,senja akan menghukumku,Luna..”
Aku masih diam. Hening.
Tak menyangka kalau Jabrik yang selama ini ku kenal sebagai seorang cowok urakan,tengil dan tak pernah serius itu bisa mengatakan hal yang bahkan bisa membuat jantungku memperlambat detakannya agar bisa mendengar setiap ucapannya dengan jelas.
          “Luna, maukah kau menjadi Bulan untuk Dunia ini?”
Bulan?? Dia selama ini selalu memanggilku dengan sebutan “bulan”. Mungkin karena namaku dalam bahasa Romawi yang berarti bulan.
Dan dunia?? Itu pasti kiasan untuk dia.
          “ ken,,,,kenapa aku?” bibirku terasa bergetar. Aku bahkan tak tau perasaan apa ini. Yang aku tahu kini jantungku berdetak semakin kencang dan otakku tak bisa menangkap semua ucapan Jabrik dengan jelas.
          “ karena Cuma kamulah Bulan yang selalu ada untuk malam dan untuk bintang..”
Tuhan…kini aku benar-benar bergetar. Tak hanya bibirku,tapi juga hatiku.
Sepertinya Jabrik menangkap keraguan dari mataku.
          “ kau ragu, Luna? Baiklah…besok aku akan membawakan senja  dengan segala keindahannya untukmu..” katanya sembari tersenyum penuh arti.
          “ apa? Kau bahkan tak pernah mendukungku untuk mendapat apa yang ku mau kan?”
          “tentang bermusik kesukaanmu itu? Aku memang melarangmu. Dan itu karena aku…aku…” Jabrik berfikir. Sepertinya ia tak bisa melanjutkan kata-katanya.
          “ harusnya kau mengerti apa yang aku mau. Menjadi musisi,itulah impianku. Impian yang akan selau ku kejar. Apapun akan ku lakukan. Dan kau tahu?? Larangan darimu dan mamaku membuatku ragu,apa masih ada orang yang peduli denganku selain Kevin?”
Jabrik kaget. Ia mengalihkan pandangannya dariku.
          “ selama ini kau melarangku. Kenapa? Itu karena kau tak peduli dan tak mengerti aku kan?”
Ia masih diam. Itu tandanya dia merenungi sikapnya.
“ datanglah kesini besok. Sebelum senja”
Aku mengerutkan keningku. Ia tersenyum. Dan itu adalah senyum yang akan selalu ku ingat dalam hidupku.
Aku meninggalakannya dengan penuh rasa kecewa.
                                                          ^_^
“ gimana? Loe suka gak? “ Kevin menunjukkan salah satu piano terbesar di pameran itu.
“ waahh….piano klasik?? Gue suka banget Vin.. sayang Cuma pameran. Not for sale ya..”
Kataku sambil memanyunkan bibir.
“ iya. Eehm…masih pengen muter-muter liat yang lain?” Tanya cowok berbodi atletis yang menarik banyak perhatian kaum hawa di sekolahku itu.
Aku celingukan ke kanan-kiri. Mencari bagian ruang pameran yang belum ku jelajahi. Aku menggeleng,setelah sadar bahwa aku telah melihat semua piano-piano tua yang ada di pameran.
          “ oke…kita jalan kemana lagi nih,Tuan Putri?” Kevin memang selalu memperlakukanku dengan sangat baik. Ia tau bagaimana membuat seorang cewek merasa nyaman di dekatnya. Tak seperti Jabrik yang selalu berbuat hal-hal konyol saat bersamaku. Bahkan ia pernah nekat untuk mengunci pintu rumahku agar aku tak bisa pergi les piano.  Rumah Jabrik berjarak 3 rumah dariku.Mamaku membiarkannya saja,karena mama memang tak begitu mendukungku mengikuti kegiatan non akademik. Alasannya,itu akan mengganggu pelajaranku. Lain lagi dengan jabrik,ia memang tak setuju jika aku terjun di dunia music,bukan karena pelajaran,tapi sesuatu yang lain. Entah apa itu,yang jelas pasti sesuatu yang konyol pula.
Aku melihat jam tanganku. Masih pukul empat sore. Sedangkan senja?bukankah itu sekitar jam lima.
“ Loe pengen beli apa,Lun?” Tanya Kevin.
Aku berfikir sejenak,” tak ada” jawabku.
Ia menuntunku ke toko accessories. “ gue tau barang bagus kemaren. Masih ada gak ya?” matanya sibuk mencari         “barang bagus” yang dimaksudnya.
“ loe tunggu sini bentar” Kevin menyuruhku untuk tetap disini.
“ ini…” ia menyodorkan miniature Tiinkerbell yang biasanya di pajang di atas piano setelah beberapa saat mencari.
Aku menerimanya.
“Kevin? Loe dapet juga ya? Aduuuhh…gue udah nyari kemana-mana. Gak taunya disini ada ya…” seruku. Sepertinya dia senang melihat reaksiku. Ia hanya mengangguk.
“loe suka Lun?”
“bangeeett..” kataku sambil menatap kagum padanya dan miniature Tiinkerbell yang memang sudah kucari ke berbagai toko.
Tiba-tiba Kevin memegang pundakku. Matanya menatapku lekat dan penuh arti.
“ Na….sebenernya…gue udah lama mau bilang ini” aku tersentak mendengar perkataanya. Jantungku berdegub kencang. Kualihkan pandangan ke arah lain.
“lihat gue Na…” kali ini Kevin memalingkan wajahku dengan tangan lembutnya. Dan membingkai wajahku dengan kedua telapak tangannya.
Aku menuruti perkataannya,dan memandang mata indahnya. Katiku bergetar hebat.
Tapi rasanya ada sesuatu yang kulupa. Sesuatu yang janggal dan sepertinya penting….
“gue…gue…” Kevin menghela nafas panjang.
Apa? Sesuatu itu…..ada yang kulupa..ya! jabrik!! Janji itu? Benarkah?
“sebelumnya sorry,tapi…” kata-kata Kevin tak begitu ku hiraukan. Bahkan aku sibuk memikirkan jabrik.
Haruskah aku datang setelah memakinya?
“ gue sayang ama loe..”
Ya…!!harus!! harus datang,dan itu sekarang!
“loe mau gak jadi…”
“ Vin,gue pergi dulu ya! Penting. Sorry….nanti gue telfon!”
aku berlari mencari taksi. Tanpa ku perdulikan lagi Kevin yang masih melongo melihatku pergi.
“pak…cepetan dikit ya” perintahku pada pengemudi taksi itu.kulihat matahari belum begitu tenggelam. Berkali-kali kulihat jam tangan.
Setelah sampai,aku membayar ongkos taksi dan segera berlari ketempat yang Jabrik ingin. Tapi sepi…hanya siluet tubuhku yang disinari matahari merah saja yang tampak. Kulihat sekeliling dan bocah plontos yang selalu setia tertawa disampingku itu tidak ada. Kulihat juga diatas pohon yang biasanya ia naiki untuk sekedar tidur,nihil.
Tuutt…tuuttt….
Handphoneku bordering. Dilayar ponsel muncul nama “mamaku”
“ hallo Ma..ada apa?”
“ Luna bisa pulang sekarang? Penting” suara Mama di seberang terdengar sendu. Diselingi isakan.
“ kenapa Ma?” aku mulai khawatir. Takut-takut kalau terjadi sesuatu dengan mamaku.
“ Bintang Na…Bintang” kini bukan lagi isakan,tapi juga tangis Mama yang terdengar.
“ Jabrik kenapa?”
“ Luna pulang sekarang ya….”
Dan Klik,handphone dimatikan.
Saat itu,aku tak tau apa yang terjadi. Tapi sixth-sense-ku mengatakan sesuatu yang buruk telah melanda Jabrik. Dan itu sangat buruk.
Aku berlari. Tak sempat lagi memanggil taksi. Hanya berlari. Rumah Jabrik tak jauh dari situ. Dan entah kenapa aku ingin menangis.  Aku bukannya pulang,tapi malah menuju kerumah Jabrik.
Kulihat orang-orang keluar dari pagar rumahnya dengan pakaian serba hitam. Kupercepat lariku. Dan kepalaku seperti dijatuhi benda yang amat teramat berat hingga kakiku lunglai saat aku melihat karangan bunga duka cita yang bertuliskan nama “ Bintang Satya Pramana”.
Aku menggeleng tak percaya. Ibu Jabrik menyambutku di pintu rumah.
“ apa ini Bu?” tanyaku meminta penjelasan. Seolah meminta keyakinan bahwa tulisan itu tak benar.
“ Nak Luna…Bintang kecelakaan tadi pagi. Dia meninggal seketika Nak..” tangis ibu Jabrik meledak. Aku memeluknya. Rasanya ada gendang raksasa di dalam dadaku yang berdebum keras dan sangat menyakitkan.
“tadi pagi?? Tapi…bukankah tadi pagi jabrik masih…bersamaku”
‘iya,sepulang dari bukit,dia pulang dan tertabrak bus..” jelas Ibu Jabrik diselingi isakan.
Kurasakan mulai ada genangan air dipelupuk mataku. Rasanya perih sekali.Ibu Jabrik berusaha menghapus air mataku dengan kedua tangannya.
“ ikut ibu yuk..” dia menggandengku menuju suatu tempat,kamar Jabrik.
“ sebelum Jabrik meninggal,dia sempat cerita kalau nak Luna marah gara-gara dia gak setuju sama hobbi’nya nak Luna yang suka main piano itu…”
Ruangan kamar Jabrik. Aku terpejam sesaat. Seperti ada bau khas Jabrik disana.
Ya,bau itu…bau parfum yang senantiasa melekat dibadan Jabrik. Aku menyukai bau itu…
“ ibu sudah menasihatinya supaya dia lebih mengerti nak Luna. Apalagi kalian sudah berteman sejak kecil..” ibu Jabrik tersenyum kecut. Aku melihat rasa kehilangan yang teramat di matanya yang sembab itu.
“berkali-kali dia bercerita,dan berkali-kali juga ibu berusaha meyakinkan dia kalau apa yang nak Luna ingin itu yang tebaik bagi nak Luna..” bahkan aku baru sadar selama ini Jabrik begitu dekat dengan ibunya. Yang ku tau,dia hanya patuh dan selalu jujur pada orang tua satu-satunya itu. Sedangkan ayahnya sudah meninggal karena kanker otak  saat Jabrik masih kecil.
“akhirnya dia kemarin sadar. Dan dia berjanji akan mendukung apa yang nak Luna mau. Dia juga membelikanmu sesuatu. Saat dia mengajak nak Luna ke bukit padang rumput itu..sebenarnya dia hanya ingin menunjukkan sesuatu..”
Ibu Jabrik melangkah menuju lemari di sudut kamar itu. Lalu membukanya.
Ada sebuah gaun berwarna violet dipadu renda-renda yang sanagt menawan tergantung disana. Gaun itu mungkin sebatas lututku. Aku bisa menerka hanya dengan melihatnya saja.
“ ini nak Luna..coba lihat. Gaun untuk konser piano nak Luna. Bintang yang membelikannya..” aku melangkah mendekatinya. Sungguh indah. Dan lagi si Jabrik itu msaih ingat warna kesukaanku,violet. Aku menatap gaun itu nanar. Rasa bersalah bergelayut dengan riangnya disampingku.
“dan nak Luna tau kenapa selama ini Bintang tidak suka dengan kegemaran nak Luna itu?” aku menggeleng lemah.
“ dia bilang,setiap kali nak Luna memainkan piano,setiap kali itu juga Bintang jatuh cinta pada nak Luna..perasaannya semakin bertambah jika dia melihat nak Luna bermain. Dia hanya takut kalau semua lelaki juga akan terpikat pada nak Luna jika nak Luna terus memainkan piano. Apalagi saat pementasan yang tentunnya dilihat ratusan orang..” aku tersentak.
Bodoh!!! Laki-laki yang bodoh! Karena alas an itukah dia melarangku untuk memainkan jari-jariku diatas tuts-tuts piano yang bahkan telah menjadi separuh dari hidupku?? Satu alasan yang tak begitu bisa ku terima.
Aku tertawa kecut mendengar penjelasan ibu Jabrik. Ku dekap mullutku dengan telapak tanganku. Kini tangiskupun meledak. Aku sudah tak mampu membendungnya. Ibu jabrik mengelus-elus pundakku.
“tapi…Tuhan mungkin begitu menginginkan Bintang untuk disampingnya. Kecelakaan itu membuatnya tak sempat mengatakan semuanya” terang ibu Jabrik.
Aku menggeleng lemah tak percaya. Sungguh,jika aku bisa memutar kembali waktu,tak akan aku luangkan waktuku bersama Kevin dan memilih pulang bersama Jabrik.
Tubuhku lunglai di lantai kamar Jabrik. Memandang nanar seluruh ruangan. Hanya  kenangannya,yang tersisa kini. 
****
Aku berdiri mematung mamandang langit tanpa batas.
Menunggu senja,itu yang kulakukan. Melihat apa yang ingin Jabrik tunjukan padaku,menanti apa yang telah Jabrik janjikan untukku.
 aku akan membawakanmu senja..” katanya dulu.
Oh ya?? Lalu kini siapa yang akan membawakan senja untukku jika kau tiada,Jabrik??
Dari ujung barat,kulihat sebuah warna merah yang merona.
“ segenggam senja..” aku ingat Jabrik pernah mengatakannya. Aku sempat meragukannya. Bagaimana mungkin ia bisa menggenggam senja?
Aku arahkan tanganku ke matahari kecil merah itu. Membuka telapak tangan lalu seolah menggenggam bulatan yang trelihat sebatas genggamanku dari sudut dimana aku berdiri. Sedikit terkejut aku melihatnya.
“ ini yang kau maksud,Jabrik?” kataku lirih,seolah kini ruh Jabrik berada di sampingku.
Aku tersenyum kecut. Pintar juga dia,ada pula ide yang seperti ini untuk mengambil hati gadisnya,mengambil hatiku. Jabrik tetap saja konyol,jayus..
Senja kian bergulir,merangkak melewati waktu bersama semua penyesalanku.
Angin berdesir lembut,mempermainkan rambutku. Ku tatap sendu semua sudut-sudut kenangan di tempat itu. Kini,tak ada lagi Jabrik.
Aku mendesah pelan,ingin melepaskan beban yang menumpuk dihatiku,menghempaskan semua pedih yang masih terasa. Suasana hening di balut merahnya senja. Tak ada lagi tawa Jabrik.
“ tak ada yang perlu disesali..” kata Jabrik suatu waktu saat aku menangis di lorong sekolah karena aku telah membiarkan sahabatku pergi meninggalkanku karena kekasihnya yang juga mengunggkapkan cinta padaku.
“ya…tak ada yang perlu disesali” aku membenarkan kata-katanya saat ini.
“ pergi dan berlalulah…seperti angin..” kataku merelakannya.
“ namun ketahuilah…bahwa aku disini selalu mencintaimu. Bawalah cintaku ini ke surga,Bintangku. Dan aku akan menjadi Bulan untukmu…” aku tersenyum. Menyadari bahwa kini mungkin ia telah mendapatkna suatu kehidupan yang lebih baik.
Aku melewati hari-hariku dengannya,dengan senyum. Saat sedih,gembira,berduka,semuanya dengan senyum saat bersamanya. Tapi kini, aku tak kan bisa lagi bersamanya. Takdir telah memisahkan kami dengan akhir yang sungguh tak adil. Esok,aku tak tahu apakah masih bisa tersenyum menghadapi semuanya tanpa dia,sendiri.


Namun setidaknya,akan ku iringi kepergiannya dengan senyum.


__the end__

Tidak ada komentar:

Posting Komentar