Kamis, 10 November 2011

cerpen : SILUET JOGJA




Penghujung september, tapi hujan masih sesekali turun. Harusnya sudah mulai musim kemarau, atau paling tidak musim pancaroba. Dunia memang sudah tua. Dengan cepat akan meninggalkan kenangan saja.
Cepat- cepat ku usap airmata yang baru sampai di pelupuk,
Aku menangis, lagi. Bukan untuk cinta, bukan untuk siapa, tapi untuk masa depanku, untuk impianku yang telah ku bangun dan kini kupertanyakan jalannya.
Kembali teringat percakapanku dengan Bapakku tadi sore diruang tengah.
Nduk, Jogja itu jauh. Kamu nggak bisa sering-sering pulang…paling ya satu semester sekali pulangnya” kata Bapakku,sambil membenarkan letak leher kemejanya.
 ‘Kuliah kan memang nggak bisa sering-sering pulang,Pak” kataku membela,
“iya, tapi disana siapa temenmu? Ada nggak keluarga kamu disana? Nggak ada kan?”
Aku hanya menunduk.
Entah mengapa sore itu tiba-tiba Bapak memanggilku untuk membicarakan tentang masa depanku.
Agaknya Kakakku dan Bapak punya pikiran sama tentang masa depanku.
Tentang kemana aku harus pergi melanjutkan hidupku.
Surabaya.
“Kamu itu masih kecil,Nduk. Bagaimana kamu nanti disana ? kalau di Surabaya kan masih ada Oom kamu itu yang bisa ngurusi kamu” nada biacar Bapakku naik satu oktaf.
DEG.
Aku segera tersadar .
Selama ini,selama aku membangun pondasi cita-citaku, Aku telah mengesampingkan satu hal yang sebenarnya ku sadari benar.
Ya, Aku memang seorang remaja yang baru menginjak 17 taun. Bahkan pola pikirku tentang dunia luar, tentang kampus khususnya, baru terbuka beberapa bulan ini. Kadang ku rasakan 17 tahunku terlalu  cepat.
Serasa airmataku ingin keluar mencari udara, tapi kutahan.
Nduk,semuanya itu bagaimanapun akhirnya juga tergantung sama yang namanya nasib. Kamu mau mententeng kayak apapun, nggak bakal ada artinya kalu nasib berkata lain. Sekarang nggak usah mentingin cita-cita atau impianmu. Mbok ya di lihat kenyataan di lapangan seperti apa. Mau di Jogjakarta, di Surabaya atau di Kediri sama saja, Kalau nasib jadi pengangguran ya jadi pengangguran “
GLEK.
Aku menelan ludah. Haruskah impianku selama tiga tahun ini kandas begitu saja?
Padahal kemarin Aku baru saja membayangkan,memikirkan,merencanakan bagaimana Aku di Jogja nanti.
Bapak adalah seseorang yang begitu kusegani dan kusayangi.
Tapi Aku memang tak bisa dan tak mungkin kalau harus langsung menuruti keinginan Bapak. Itu bukan bidang yang Aku inginkan.
Itu bukan impianku. Bagaimana bisa Aku menjalaninya sementara pikiran dan harapanku ada di tempat lain ?   Terlebih untuk komitmen yang saat ini sedang kujalani.
Satu hal yang Bapak tidak tahu. Selama ini,butuh waktu dua tahun untuk Aku memikirkan keputusanku ini.
Dan selama itu pula Aku sudah mempersiapkan diri dan hati untuk menghadapi apapun yang mungkin akan terjadi.
            “Bapak cuma nggak tega Nduk kalau kamu jauh-jauh kesana. Kalau biaya,bukan jadi masalah.Yang namanya biaya untuk anak sekolah itu ya pasti Bapak sama Ibu usahain bagaimanapun caranya. Ya cuma itu tadi,nggak tega kalau kamu disana. Jauh,Nduk
Sekali lagi Aku menelan ludah.
Pikirku melayang..
Satu sisi Aku tak ingin hal ini membuatku gagal menggapai harapku. Tapi satu sisi,Aku benar-benar tak ingin membuat Bapakku kecewa.
            “ Mbakmu itu,biaya segitu. Tetap Bapak sama Ibu usahain. Dia minta apa,tetep diturutin. Tapi satu hal,dia nggak pernah minta kuliah jauh. Deket saja nggak apa-apa,yang penting niat”
Aku menghela nafas.
Entah kenapa Aku merasa Bapak selalu menekankan kata ‘jauh’ dalam setiap ucapannya.
Kata-kata itu memang buat Mbakku. Tapi Aku juga merasakan keharuan didalamnya.
Ternyata , seperti itulah Bapak. Semua ini adalah bentuk kasih sayangnya pada kami.
Tapi,kembali sulit. Sangat sulit.
Antara keinginan dan restu.Antara kemampuan dan dukungan. Jujur, Aku memang belum siap untuk jauh dari orang tuaku.
Dan ternyata, selain Aku ini adalah si bodoh yang sok kuat.
Aku juga adalah si cengeng yang sok tegar. Tidak mengerti ada apa dengan saat ini. Hanya tau, saat ini Aku begitu mengangumi Bapak. Dari dulu bahkan, karena itu juga selama ini Aku tak pernah mengingkari satu keinginannya. Dari dulu Bapak sangat senang melihat nilai-nilaiku yang bagus. Tiap Ulangan harian atau ujian semester Aku selalu belajar agar  nantinya Aku bisa memamerkan sehelai kertas ujian dengan nilai tinggi.
Aku tak pernah lupa wajah Bapakku saat mendengar bahwa Aku menjadi juara Paralel,walaupun peringkat tiga. Terlebih saat Bapak dipanggil kedepan para hadirin yang saat itu datang mengambil raport anaknya.
 Sesampainya dirumah,Bapak dengan senyum mengembang menceritakannya pada Ibu dan Mbakku. Satu kebahagiaan tersendiri saat melihat Bapak bahagia karenaku.
Namun saat ini, Aku tak tahu, apa kali ini Aku bisa menuruti keinginan Bapak lagi.
Entah ada apa dengan sore tadi, terlalu biru dari biasanya.
Baru juga Aku bahagia atas Jogjaku, atas restu dari Ibuku yang kemarin berkata,
            ‘Yang penting Nduk seneng. Mau ke Jogja ya nggak apa-apa.”
Ku pikir keputusan itu sudah di sepakati juga oleh Bapak. Tapi ternyata tidak.Dan sekarang, sudah harus kembali berfikir tentang Surabaya,tentang UNESA. Dramatis.

­­­


            Tangan kiriku menggenggam brosur Universitas Negeri Surabaya, yang dibawa oleh Oom’ku, seorang alumni UNESA,tapi  tak kupedulikan.
Sedang di tangan kananku memegang Handphone sambil membuka facebook,
Satu hal yang membuatku seharian ini menatap lurus kearah layar handphoneku.
Salah seorang teman dari List friends-ku menulis catatan tentang impiannya, tentang ketidaksetujuan orang tuanya , tentang bagaimana ia memperjuangkan apa yang ia mau, tentang Jogja. Ya,Jogja. Satu  kata yang selama ini selalu menjadi beban pikiranku walau masih ada beberapa bulan untuk mempersiapkan semua.
            “Kita harus berjuang !! cita-cita kita disana,Re “ katanya diplomatis tiga hari lalu,saat kami bertemu di rumah sahabat karibku.
Aku merasa sedikit terhibur sewaktu tahu aku mempunyai teman seperjuangan.
            “Kamu masih mending ke Surabaya, Lha Bapakku nyuruh aku ke Bandung. Bandung,Re !! Hah.Blass gak kepikiran mau kesana. Mbayangin perjanane ae,ya ampuun…jauh “ katanya.Lalu  menyeruput the didepannya.
            “Ya disana kan sama Tantemu. Lagian,cowoknya ganteng-ganteng kan? “ kataku sambil mengedip-ngedipkan mata kearahnya.
            “Halaahh…gombal. Minder Aku disana,Re. Gak payu lak’an saingan karo cewek Bandungan
Ia tertawa kecil. Gaya bicaranya yang ceplas-ceplos membuatku cepat akrab dan menyukainya.
            Peehh.kamu itu anak pungut kali Pit. Dibuang gitu aja “ ia tertawa lagi mendengar perkataanku.
            “Ya tapi kalau Aku jadi dibuang ke Bandung,jadi nggak bisa Njagung atau ngopi sama Mbakmu itu tho..” Ia melirik kearah Nabil.’Mbak’ yang ia maksud adalah Nabil. Yang dilirik cuek saja,pura-pura tak tahu.
            “Lho,emang mau ke Bandung beneran ?” tanyaku dengan tampang se-serius mungkin.
Dia menggeleng.
            Aku manut kamu Nduk” ia terkekeh.
Gadis itu,Pitta. Tidak satu sekolah denganku. Aku mengenalnya dari sahabat karibku yang juga teman sekelasnya. Dari caranya berbicara,Aku tahu kalau dia seorang yang tak mudah menyerah.
Setelah pertemuan  tiga hari yang lalu itu, kami semakin intens bertukar fikiran tentang impian kami. Dan ku ketahui,dia telah memutuskan untuk menuruti kata Ayahnya. Begitulah hidup,kadang memaksa untuk memilih apa yang bukan menjadi pilihan kita.
Selintas terbesit bagaimana aku melewatkan hariku disekolah pagi tadi, di halaman tengah. Bercanda bersama teman-teman sekelasku. Entah mengapa,akhir-akhir ini kami begitu akrab. Terasa semakin  berat meninggalkan mereka dan semua kenangan tentang mereka.
Di kalanganku, anak IPS, sangat jarang membicarakan tentang universitas mana yang nantinya bakal dipilih. Kebanyakan dari mereka memilih untuk meneruskan bekerja. Mungkin sebagai penerapan ilmu ‘kasir’ yang selama ini menjadi makanan sehari-hari kami.
Entahlah,yang jelas,nanti aku akan sangat merindukan bagian ini. Bagian dimana kami berkumpul dan ngobrol ngalor-ngidul menunggu pergantian jam. Atau saat dimana kami diam-diam keluar kelas mencuri waktu untuk mengisi perut dikantin. Kala itu seiring ketawa-ketiwi kita karena telat masuk jam salah satu pelajaran yang diakhiri dengan ceramah dari pembimbing. Setelah tertawa dan ada semacam perasaan fokus yang kuat jika teringat kalau kita telah sampai di ujung jalan,dimana ini merupakan jalan penentu masa depan.
 Semua itu,menjadi salah satu faktorpenghambatku untuk pergi merantau ke tempat yang (sebenarnya) tidak terlalu jauh.
Dan disinilah Aku sekarang, di kamar yang tak terlalu besar namun menjadi tempat yang sangat kurindukan dan akan menjadi yang pertama kudatangi tiap jauh dari rumah.Kamarku.
Inilah akibat tidur terlalu awal, terjaga ditengah malam. Seolah menjadi penjaga malam,seperti biasa. Dan sulit tertidur lagi.
Sekali lagi Aku membenci keadaan seperti ini.
Karena pasti Aku akan teringat semua hal yang pernah kulakukan,semua hal yang ku impikan. Jogja.
Kembali miris rasanya setiap teringat Jogja.
            “Tidak Nduk. Disini saja..” Bapakku menegaskan perkataanya setelah malam tadi aku mengutarakan lagi niatku untuk ke Jogja.
            ‘Banyak gempa Nduk..nanti Ibu jadi  kepikiran” timpal Ibuku yang sedari tadi diam.
Ya,dan ternyata kali ini semesta meniupkan hawa panas pada hati mereka. ‘‘‘‘‘
Semakin sedikit waktu yang kupunya untuk mempertimbangkan semuanya.
Seperti jam pasir,bejana itu telah dibalik,pasir diatas mengalir pelan,hingga pada saat terakhir,
ketika tak tersisa satu butir pasirpun pada bejana yang bening, maka masa depanpun menjemput.
 Merebut dengan paksa kenangan,dan menanyai dengan kasar keputusan yang Aku ambil.Tragis.
Rasanya Aku ingin menumbuhkan perasaan ‘antipati’ dalam diriku. Memupuk rasa ‘tak peka’ dalam hatiku. Agar Aku tak perlu memikirkan masa depanku. Mencoba bersikap masabodo tentang segala sesuatunya dan menjalani hari tanpa kreasi.hanya ikut mengalir. Dan tak perlu pusing-pusing memikirkan hari esok.
Mencabut hati dari dalam tubuhku dan menukarnya dengan seperangkat alat elektronik.
Robot ?? mungkin.
            “Terserah kamu tho,wong yang punya hidup itu kamu. Tapi ya kalau saranku sama Bapak sih tadi itu” kata Mbakku sore tadi.
Aku melihat layar handphoneku,satu pesan masuk,dari Jay. Temanku dari Jogja.
            “Lagi turun ke Malioboro ini,Re” ia mengabariku.
            “Bagaimana Jogja malam ini Jay?” tanyaku dalam pesan.
            “Indah.Lesehan dimana-mana.Vespa banyak yang punya.Gedung-gedung tua jadi makin indah dengan lampu-lampu,Re. Kamu pasti suka” balasnya.
Dan Jay berhasil membuatku semakin jatuh cinta pada Jogja.
            ‘Aku tunggu kamu Re. Satu atau dua tahun lagi. Ah tidak,enam bulan lagi kan? Aku yakin kau pasti bisa kesini. Lovi dan Yenny juga sudah menunggumu” katanya.
Darahku berdesir. Salah satu faktor pendorong kenapa aku begitu berminat kesana.
Belum juga aku membalas pesannya,sudah ada pesan darinya lagi.
           
“Aku tak terlalu berharap. Biar takdir yang menjawab. Kau tau?? Kadang kita harus berputar menjadi orang lain untuk menjadi diri kita lagi”
Aku menelan ludah. Kata-kata yang ku kutip dari novel Dee,yang dulu pernah aku ucapkan padanya ketika Ibunya menyuruhnya masuk ke SMA yang bukan menjadi pilihannya. Dan kini,ia mengucapkan kata-kata itu lagi,untukku.
Hujan tak kunjung henti diluar sana,basah semua.
Inilah hidupku yang begitu kurasa saat ini,ingin marah, tapinya sama siapa?
Apa juga alasanku marah ??
Lucu.mengingat remaja kecil sepertiku sudah mulai memikirkan masa depan.
Mengenai masa lalu dan indahnya kekeluargaan, mengenai sebuah nasihat, mengenai kehidupan asmara yang mengambang, mengenai persahabatan dan balas budi, mengenai peluang dan kalkulasinya, mengenai vespa dan lesehannya, mengenai Jogja.
Beberapa menit berikut,malam mulai menyelimutiku dengan kegelapan. Dengan mimpi.

­­­

            Aku terlonjak kaget. Terbangun dari tidurku. Sepertinya aku tadi bermimpi,entah,tapi Aku selalu lupa dengan mimpi-mimpiku, Suara Adzan menggema. Segera ku ambil air wudhlu dan  melaksanakan shalat shubuh.
Diakhir shalatku Aku berdoa agar Tuhan memberi petunjuk tentang apa yang harus ku lakukan.
Rasanya tentram menjalar dalam batinku. Kulirik jam, masih setengah Lima. Sedikit waktu untuk melanjutkan tidurku.
Aku kembali meringkuk dibawah selimut, dapat kudengar kalau diluar sana hujan masih betah beraktifitas.
Kau tahu? Hidup penuh dengan hal yang tak terduga. Tentang bagaimana semesta memperingatkan kita mengenai satu hal, tentang bagaimana teguran dari yang Kuasa turun dengan indahnya.
Kembali aku terlonjak dari tidurku,entah rasanya aneh, satu kekuatan baru, ya !! aku dapatkan itu.
Yang mendorongku untuk memutuskan satu hal besar. Aku bergegas keluar kamar,mencari Bapak. Kulihat beliau duduk di teras rumah.
            Pak,kulo kuliah datheng Surabaya mawon kataku sambil tersenyum. Bapakku melongo,tapi beberapa detik kemudian ada seulas senyum dibibirnya. Ya,senyum kebahagiaan yang kurindukan itu.
Kembali Aku melangkah ke kamarku. Membuka jendela dan menghempaskan tubuhku diatas kasur,perlahan kuhirup udara pagi. Terasa lebih sejuk dari biasanya. Ada semacam beban yang perlahan menguap. Setelah sadar bahwa ini mungkin petunjuk dari yang Kuasa. Ya,petunjuk itu sudah Dia berikan.+
Sebelumnya ingin ku katakan bahwa saat ini kebahagiaan adalah barang mewah, aku rasa ide keceriaan mengatakan keputusan itu pada Bapak adalah alat tukar untuk menebus kebahagiaan itu. Bahagia yang melingkup jiwa raga, keceriaan yang murni bukan polesan, dan kedamaian yang abadi bukan imitasi.
Ya,semua tak terduga memang kalau natinya Aku bisa ke Jogja, entahlah.
Yang jelas, dengan keputusanku ini,Aku tak harus jauh dengan teman-teman yang sudah menjadi bagian hidupku.
Aku tak perlu terlalu merindukan rumahku,keluargaku,kamarku.
Benar,mencoba untuk berfikit dewasa. Atau berfikir bijak lebih tepatnya.
Kau tahu ? kadang sesuatu yang kelihatanyya romantis, ternyata menyakitkan. Atau, sesuatu yang kelihatanyya menyakitkan, sebenarnya membahagiakan.
Seperti ini, seperti yang Aku rasakan. Aku tak benar tahu, apa keputusan ini memang yang terbaik. Mungkin bukan yang terbaik bagiku, tapi sangat baik bagi kedua orang tuaku,khususnya Bapakku.
Kalau Aku tak bisa benar-benar ke Jogja,ketempat impianku untuk hidup itu,setidaknya aku telah membahagiakan orang tuaku.
Seperti kata Jay,”Berputar menjadi orang lain untuk menjadi diri kita lagi”
Bicara tentang Jay, mungkin aku harus sampaikan satu kata maaf untuknya. Maaf karena Ia harus menunggu lebih lama lagi. Tapi seperti kataku tadi,semesta pasti nanti akan mampu berkonspirasi untuk mempertemukan kita. Nanti. Tunggu saja.

­­­

            Pertengahan november tahun 2010. Disinilah Aku sekarang. Diantara lalu lalang mahasiswa dan berbaur di dalamnya. Menjadi satu dengan komunitasnya.
Mencoba beradaptasi selama sebulan ini. Mencoba menjadi mahasiswi yang rajin tapi tak ketinggalan mode fashion. Mencoba menjajari langkah impian setiap orang disitu.
UNESA .
Merangkai mimpi lewat jalan yang ditunjukkan Ayahku.
Ternyata tak terlalu buruk menjadi salah satu mahasiswi resmi disini. Surabaya tak terlalu panas, beda dengan kata orang-orang.
Bahkan yang lebih ku suka, disini juga mudah kutemukan gedung atau rumah tua, kesukaanku.
Entahlah, apa aku mulai suka dengan keadaan disini atau hanya sekedar menyesuaikan diri.
Yang jelas, inilah tempat dimana aku hidup sekarang. Paling tidak untuk tiga atau empat tahun ke depan.
Ya, berusaha mejadi yang baik walau bukan terbaik. Melihat realita daripada cita-cita.
Ah,cita-cita ? toh aku masih bisa mengejarnya kelak. Kalau aku sudah mendapat gelar sarjana dari Universitasku yang sekarang ini. Jogja masih ada dalam hatiku, akan tetap menjadi Jogjaku.
Tapi sekarang, disini tempatku berpijak, di Surabayaku. Merangkai kembali angan yang dulu tercecer karena kekecewaan. Terus melangkah maju dan tetap memandang dunia dengan senyum.
Satu hal yang kini ku sadari, untuk menggapai mimpi, tak harus ke tempat yang jauh. Tak harus ke Jogja. Seperti yang aku inginkan dulu.
Bicara tentang masa lalu, atas saran sahabat-sahabatku lah aku bisa sampai disini,karena tak ingin terlalu jauh terpisah oleh jarak. Duabelas sosial satu, salah satu persimpangan jalan dalam hidupku yang begitu banyak terserak kenangan diantaranya. Indahnya persahabatan, kekonyolan putih abu-abu, romantisme percintaan, semua ada disana, dulu. Tapi kini masih kusimpan disini, di dalam hatiku. Di dalam kotak yang sangat indah. Karena mereka membuatku percaya satu kata yang telah ku tahu buktinya, bahwa ‘Masa SMA adalah masa terindah’.
 Dan satu ucapan terimakasih juga wajib ku sampaikan pada Pitta,pelopor  pergerakan “Jogjaku’. Terdengar konyol, tapi memang begitulah nyatanya.
Semua ini ku dedikasikan,untuk seorang yang begitu berarti. Untuk seorang pahlawanku.
Untuk Ayah nomor satu sedunia. !!
_____THE END_____





Tidak ada komentar:

Posting Komentar