Minggu, 22 Juli 2012

pesan untuk Edelweiss

kepada hati,

Pertengahan Juli, 2012.
Bila waktuku tersisa untuk selalu disisi menjaga hatimu.
Aku kan selalu mencoba berikan yang terbaik untuk kau miliki.
Tapi maafkan aku, waktuku hanya sesaat.
Sungguh, dibatas asaku hanya ingin kau bahagia jalani hidupmu.
Aku kan selalu mencoba berikan yang terbaik untuk kau miliki.
Tapi maafkan aku, waktuku hanya sesaat.

Aku tak bisa memiliki, menjaga cintamu.
Walau sesungguhnya hatiku mencintaimu, memilikimu.
Aku tak ingin kau terluka mencintai aku.
Hapuslah air matamu dan lupakan aku..

Tiga jam terakhir ini mp3 di handphone tak berhenti memutar lagu Dygta, kubiarkan begitu, bahkan sengaja ku repeat pada satu lagu itu. Aku tak peduli kalo handphoneku mulai lowbat, dan semakin tak peduli saat teman sekost mulai protes karena bosan dengan lagu itu.
“kalau kayak gini, jujur rasanya sakit banget” katamu, lewat pesan singkat itu.
“aku juga sakit, sama kayak kamu” kataku refleks. Walau aku tau kamu tak akan bisa mendengarnya. Adalah pahit, dan nyeri yang tiba-tiba menjalar dari ulu hatiku saat tau kamu disana sakit, karena aku, karena rasamu, rasa ini.
“maaf..”  kubalas pesanmu, sangat singkat.
Aku ingin bilang, aku paham kenapa kamu sakit dan kenapa sakit itu seolah menular padaku. Aku juga ingin bilang, aku disini sakit mengetahui kamu sakit. Tapi tak sepatah katapun bisa keluar. Kau tau? Ini sangat complicated, perasaan yang complicated untuk ukuran seorang idealis sepertiku, yang tak pernah merasa sekacau ini dengan perasaanku sendiri.
“apa alasanmu? Katakan” retoris, kamu bertanya.
Alasan? Bahkan sampai sekarang aku tak tau alasanku melepasmu. Hanya kupikir, aku tak ingin bersama kamu cuma karena aku enggan sendiri. Kamu tak layak untuk itu. Kamu terlalu berharga. Itu satu-satunya alasanku dan sampai sekarang aku belum bisa mengatakannya ke kamu. Saat berhadapan denganmu, kemampuan kata-kataku rasanya menguap.
Pada kenyataanya, kamu telah berhasil membuatku menyayangimu. Sebuah rasa  yang tumbuh karena kebiasaan. Rasa  yang tanpa kita sadari tumbuh, terpupuk oleh intensitas harian kita.
***

20 Juli 2012
“Maafkan  aku. Maaf untuk perasaan ini. Maaf udah terlalu ganggu hidup kamu. Maaf udah lancang sayang sama kamu. Maaf kalo aku udah cinta sama  kamu”
Pesan pertamamu dalam seminggu terakhir ini.
Ada sesuatu yang panas dimataku saat membaca pesanmu, sesuatu yang membuatnya berair dan seolah ingin keluar mencari udara. Namun kutahan. Aku tak tau apa yang harus kuketik untuk membalas pesanmu. Begitu banyak kata maaf di pesanmu. Bahkan kamu meminta maaf untuk hal yang sesungguhnya bukan merupakan suatu kesalahan.

Kadang, kau harus menanyakan langsung pada hatiku untuk tau perasaanku. Karena dialah yang pada suatu waktu berkata “tidak”. Dia yang berkata “aku telah jatuh kepadanya, tapi ada hati lain yang disana menungguku. Teruskan maka Dia Yang Menungguku akan mati atau hentikan dan dia tak kan terluka lebih dalam”.
“Kamu ngga harus minta maaf” ucapku.
“Harus. Aku udah terlalu lancang sayang sama kamu sejak semester satu”
“semester satu?” nafasku tertahan.
“iyaa. Dari semester satu aku suka sama kamu. Tapi aku diem karena sahabatku juga suka sama kamu. Setelah dia ngga lagi suka sama kamu, aku baru berani. Aku nyari tau soal kamu. Soal mimpimu. Soal gimana kamu pengen ke Pangrango,Mandalawangi” katamu menjelaskan.
Barangkali itulah kenapa penyesalan ada, aku menduga. Sebuah konsep dari Tuhan yang membuat kita merasa bersalah karena suatu hal. Dan saat ini, aku menjadi korban konsep Tuhan yang satu ini. aku menyesal telah menyeretmu kedalam hidupku, yang terlalu idealis untuk kau mengerti.
“tetap saja itu bukan alasan untuk minta maaf” balasku.
“aku salah dan aku harus minta maaf. Terimakasih untuk semuanya”
Dan seolah aku melihat punggungmu yang berjalan menjauh diantara gang sempit yang gelap. Kamu berjalan terus, dan tak sedikitpun menoleh kearahku. Mungkin semacam perpisahan yang tidak dramatis, hanya bisu.
Kamu bukan tisu sekali pakai. Kita tidak mungkin membuang apapun jika kita percaya jika itu bukan suatu pilihan, bahkan sebenarnya hati bukan untuk menyimpan. Otakku yang merekam dan menyimpan kamu, kita.
***

21 Juli 2012
Yang belum kamu tau, cinta dalam versiku tidak sama dengan versimu. Bagiku, itu bukan hanya sekedar kesamaan minat. Bukan hanya tentang seberapa besar kamu tau kesukaannya. Bukan juga tentang bagaimana kamu merangkai misi untuk mengubah kebiasaan buruknya dan bagaimana kamu menabung untuk sekedar mengajaknya jalan-jalan ketempat yang ingin dia datangi. Bahkan, itu juga bukan hanya tentang bagaimana kamu berjanji pada semesta untuk mewujudkan mimpinya. Bukan. Bukan seperti itu.

Cinta, yang menurutku, bukan seperti yang kamu terjemahkan.

Itu adalah semacam tentang perjalanan. Kau tau? Seperti sebuah fase. Yang menjembatanimu untuk menuju kesuatu arah. Tenanglah, itu tak kan membawamu ke jurang hitam yang dalam. Itu akan membawamu ke pantai berpasir putih yang indah. Yang ketika pagi datang, kau akan melihat matahari shubuhnya bersinar begitu indah. Bahkan saat kau menghirup dalam-dalam udara paginya, kau akan merasakan kesejukan yang Maha didalam paru-parumu, rasakanlah. Atau saat senja dibahumu, dan malam didepanmu. Jingganya akan membuatmu mengerti satu hal, bahwa matahari, diujung waktunya, selalu memberikan hal terindah yang kadang kita lupa untuk menikmatinya. Senja. Kupikir itulah cinta.

Jadi, aku tidak benar-benar tau cinta yang benar itu seperti apa. Aku juga tidak tau cinta itu ada berapa macam variasinya. Yang aku tau, cinta itu Senja. Dan hatiku selalu merasa hangat oleh jingganya. Tapi aku tak merasakan itu padamu, bahkan ketika berada disampingmu atau ketika kau menggandeng tanganku.
Maaf, aku terlalu memfilosofikannya. Kuharap kamu mengerti.
Saat kamu membaca ini, kuharap sejauh ini kamu bisa  menemukan setidaknya satu alasanku kenapa aku tak bisa bersamamu.

Well, i’ll tell you one thing. Life is about some effort, about daydream and illution. Sometimes, it will bring you down, deep. But you must find yours. Your own reason to still alive, to survive. Mungkin karena mimpimu, karena hidup yang kau anggap indah atau karena satu alasan klise, yaitu kamu ingin bertahan untuk orang yang kamu sayang.

Aku termasuk orang-orang dengan alasan klise. Ya, aku bertahan untuk orang-orang yang aku  sayangi. Ayahku, ibuku, kakakku dan seorang lelaki yang selama beberapa tahun ini mengisi hatiku. Dia itu... selalu membuatku marah dengan perkataanya yang selalu jujur, terlalu jujur mungkin. Selalu cuek, bersikap apatis dan tak pernah peduli tentang pikiran orang lain padanya. Selalu memakai jeans punk saat ke kampus, padahal sudah berkali kukatakan agar dia pergi ke kampusnya dengan lebih rapi, tapi dia tak pernah mendengarkannya. Berkali juga kukatakan untuk merapikan rambutnya yang seperti Tin-Tin itu, dan lagi-lagi omonganku dianggapnya angin lalu. Dia seorang apatis, yang sangat tidak realistis. Menyebalkan bukan? Dan lelaki jayus menyebalkan itulah alasanku bertahan. Dialah yang membuatku merasakan jingganya senja. Dan hangatnya ‘cinta’, setidaknya dalam versiku.

Aku tak mungkin meninggalkan alasan itu. Karena alasan itulah yang membuatku menjadi idealis, alasan itu yang saat aku jatuh berkata “bangunlah, aku disampingmu”, maka seketika semangat yang hilang karena penggembosan dari diriku sendiri akan terpompa. Alasan itu telah membuat hatiku mengalir, dan tak pernah mati.

Berhentilah untuk memikirkan ini dengan otakmu, karena secerdas apapun kamu, untuk masalah hati, kamu tidak akan pernah menemukan jawabannya. Ini hanya tentang sebuah perasaan yang entah darimana, membimbingku kepadamu. Dan mungkin memang semesta yang berkonspirasi, seperti yang biasa kukatakan padamu. Semesta selalu punya rencananya sendiri untuk mempertemukan kita dan membawa kita kepada kelanjutannya. Mereka berkonspirasi. Atau sebuah sinkronitas. Kita bertemu. Membicarakan mengenai apa yang kita suka. Kemudian itu berkembang menjadi sebuah hubungan yang mengambang. Yang jika terbang lebih tinggi, maka suatu saat akan jatuh dan itu akan sakit sekali. Tapi juga sayang jika harus terjatuh sekarang, karena rasa ketika ‘mengambang’ itu sangat indah. Tapi dibawah sana, ada seseorang yang menantiku untuk jatuh, lagi. Notabene, memang disanalah tempatku sebelum semesta membawa kita ‘mengambang’. Dan aku harus kembali pada seseorang itu. Karena aku tak mau jatuh ketika dia pergi, tak akan ada yang menangkapku nanti jika dia pergi. Hatiku belum mau mati.

Aku tak akan memilih, karena hatiku tau dimana ia akan berlabuh. Dan ia tau kemana harus pulang, ke tempat yang selama bertahun-tahun ini menjadi pelabuhan terindahnya.

Dan inilah hatiku, pada dini hari yang sepi. sendiri. Apa adanya.
Jadi, jangan pernah minta maaf lagi padaku ya, karena tak pernah ada yang salah dengan orang yang jatuh cinta, edelweiss J
Dan karena itulah aku tak pernah minta maaf padamu, karena kuyakin perasaan yang pernah ada untukmu itu, bukan suatu kesalahan.
If everything has been written down, so why worry?
It’s you and me, with the silly smile as we have to say ‘enough’.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar