Menengok setahun yang lalu, semua kejadian dan semua konspirasi
semesta yang membuatku dan Ikhwan bersama lagi setelah berpisah hampir setahun
dan berbagai kisah lain yang kami lalui dengan orang lain, rasanya begitu
panjangnya episode-episode dalam cerita lelakonan kami.
Tapi satu yang tak pernah berubah, arti Ikhwan dalam diriku.
Semenjak pertama kali memutuskan jadi pacarnya, aku sudah
dimanja olehnya, apa kemauanku diturutinya. Entah itu baik atau buruk baginya,
yang terpenting baginya adalah kebahagiaanku.
Dan itu masih tetap berlanjut sampai sekarang, walaupun
hubungan kami jeda setahun, Ikhwan masih sama seperti dulu.
Ketika kubilang aku suntuk dan ingin pergi keluar, dia
datang dengan senyumnya sambil menyodorkan helm, mempersilakanku menaiki
boncengan motornya.
Ketika aku mengeluh dengan tugas-tugas kuliahku yang
menumpuk, dia menemaniku hingga larut, atau terkadang hingga pagi, menemaniku
dari seberang telfon, dengan secangkir coffeemix atau robusta.
Terkadang aku lupa dengan jadwal-jadwalku, dan dia akan
mengingatkanku tanpa kuminta.
Atau saat pegangan tanganku mengendur pada pingganngnya
ketika perjalanan pulang yang menandakan aku mengantuk, ia diam-diam memegangi
tanganku, menopangku agar tidak terjatuh.
Bahkan merapikan poniku yang berantakan sehabis tersibak
angin.
Dia begitu berartinya, atau mungkin harus kubilang bahwa aku
memang begitu bergantung padanya. Walaupun saat kita berjauhan, ataupun saat
tangannya menggenggamku dengan hangat.
Pernah sekali ia mengatakan “apapun yang kamu mau, jika aku
bisa, aku akan memberikannya untukmu”. Dan walaupun itu hanya ia ucapkan
sekali, baginya itu janji matinya.
Samapi sekarang, ia masih konsisten dengan idealismenya itu.
Masih tetap berusaha menjadi yang terbaik untukku.
Sampai pada malam ini, satu kalimat darinya seperti menampar
utopisku. Katanya “bebb, aku pengen kamu ngerti semua kekuranganku”
Aku tercengang. Bagaimana mungkin selama ini aku tak
memanusiakan Ikhwan? Memanusiakan pacarku? Dia bukan malaikat, yang selalu ada
dan sempurna untukku. Dia juga manusia.
Aku bahkan terlalu terpana oleh semua kesempurnaan darinya yg mungkin semu.
Harusnya aku belajar “ngewongke”.
Semuanya, semua yang dia berikan, perlahan-lahan membutakan
mataku dari kenyataan bahwa Muhammad Ikhwan Mujib adalah manusia biasa yang
tidak selalu bisa menjadi yang terbaik bagiku dan selalu memberikan semua yang
aku mau.
Merasa bersalah. Menghakimi diri sendiri atas kebodohan dan
keambiguan yangn selama ini ada padaku.
Tapi rasanya terlalu sulit, dia begitu sempurna untukku.
Menghilangkan kata “pacar” dan menjadikannya “manusia”,
fragmen awal yang rasanya sulit diterapkan.
namun sekali lagi, dia gak bakalan selalu jadi yang terbaik buatku, adakalanya dia gak bisa menuhin semuanya, adakalanya dia cuman bisa mengangkat bahu dan berbalik ketika tanganku mencoba menggapainya.
dan rasanya mulai sekarang memang harus belajar,
bukan untuk menghargainya atau tidak menyusahkannya, tapi untuk "ngewongke" :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar